Tokoh Islami "ENAM PULUH SAHABAT UTAMA RASUL - UMEIR BIN SA'AD - PART 2"
http://massandry.blogspot.com
Bagaimana . … ?
Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ..,. ‘?
Tetapi kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya . . . ! D
an dengan segera Umeir berubah menjadi seorang laki-laki perkasa dan Mu’min yang taqwa . . . , maka ia pun menghadapkan pembicaraan kepada Jullas bin Suwaid, katanya:
“Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan . . . ! Sungguh, engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu ….. Tetapi andainya kubiarkan saja kata-kata itu, tentulah Agamaku akan binasa padahal haq Agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasulullah . .. !”
Demikianlah Umeir telah memenuhi keinginan hatinya yang shaleh secara sempurna ….
Pertama ia telah menunaikan haq majlis sesuai dengan amanat, dan dengan jiwanya yang besar membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengar- dengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain.
Kedua itu telah menunaikan haq Agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan.
Dan ketiga ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya, yakni sewaktu secara terus terang dikatakannya kepadanya, bahwa persoalan ini akan disampaikannya kepada Rasulullah saw. Seandainya ia sedia bertaubat dan memohon ampun, maka hati Umeir akan lega karena tak perlu lagi meneruskannya kepada Rasulullah saw.
Tetapi rupanya Jullas telah dipengaruhi betul-betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu, dan tidak ada perasaan menyesal sedikitpun atau keinginan untuk bertaubat. Hingga terpaksalah Umeir meninggalkan mereka, katanya: “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melihatkan diriku dengan dosamu … !”
Rasulullah setelah mendapat laporan dari Umeir mengirimkan orang mencari Jullas, tetapi setelah Jullas dihadapkan ia mengingkari katanya itu, bahkan ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah . . . ! Tetapi ayat al-Quran telah datang memisahkan antara yang haq dengan yang bathil:
﴿ يَحْلِفُونَ بِاللهِ ما قالُوا وَ لَقَدْ قالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا وَما نَقَمُوا إِلاَّ أَنْ أَغْناهُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْراً لَهُمْ وَ إِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللهُ عَذاباً أَليماً فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ وَما لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصيرٍ ﴾
“Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai…. Dan tak ada yang menimbulkan dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya …. Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi ” (Q.S. 9 at-Taubah:74)
Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas mengakui pembicaraannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-katanya:
“Maka seandainya mereka bertaubat, itulah yang terlebih baik untuk mereka . . . !”
Dan karenanya tindakan Umeir ini menjadi kebaikan dan berkat kepada Jullas, hingga ia bertaubat dan setelah itu keislamannya menjadi baik …. Nabi memegang telinga Umeir dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian:
“Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu . . . dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu . . . !”
Aku sungguh beruntung sekali dapat menemukan Umeir untuk pertama kali, semenjak aku menulis buku mengenai Umar bin Khatthab mulai empat tahun yang lalu. Kisahnya bersama Amirul Mu’minin Umar sungguh mempesonakanku, hingga rasanya tak ada lagi cerita lain yang lebih mempesona dari itu …. Nah, cerita inilah sekarang yang akan kupaparkan kepada anda sekalian, agar anda ikut menyaksikan suatu kebesaran istimewa dalam kecemerlangan yang mengagumkan.
Anda tahu bahwa Amirul Mu’minin Umar r.a. selalu berhati- hati memilih para gubernurnya, seolah-olah ia memilih orang- orang yang sama mutunya dengan dirinya …. Ia selalu memilihnya dari orang-orang yang zuhud dan shaleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur . . . yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mu’minin memaksanya untuk menjabatnya ….
Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubernur-gubernur dan pembantu-pembantu utamanya ini beliau selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti. Beliau selalu mengulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan itu sebagai berikut:
“Aku menginginkan seorang laki-laki bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah ia lah pemimpinnya …. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpinnya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa …. Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal …. Ditegakkannya shalat di tengah-tengah mereka . . . berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang haq . . . dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka … !”
Maka berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia di suatu hari memilih Umeir bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umeir berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mu’minin tetap mengharuskan dan memaksanya untuk menerimanya ….
Umeir pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya Dan setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah …. Bahkan tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mu’minin daripadanya….
Amirul Mu’minin memanggil penulisnya, katanya: “Tulislah surat kepada Umeir agar ia datang pada kita!”
Maka di sinilah saya akan meminta keidzinan anda untuk melaporkan pertemuan di antara Umar dan Umeir, sebagaimana tercantum dalam buku saya “Di hadapan Umar”, sebagai berikut: