Tokoh Islami "ENAM PULUH SAHABAT UTAMA RASUL - ABDURAHMAN BIN AUF - PART 3"
http://massandry.blogspot.com
Ibnu ‘Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya …. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya …. Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal …. Kemudian ia tidak menikmati sendirian …. tapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara- saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang:
“Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin ‘Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka …. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka”.
Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela Agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu . . . !
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum ….
Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh:
“Mush’ab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya! Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami. . . !”
Pada suatu peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis; karena itu mereka bertanya:
“Apa sebabnya anda menangis wahai Abu Muhammad . . . ?” Ujarnya: “Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita . . . ? “
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya . . . . ! Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya: “Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan- pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!”
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan Ibnu ‘Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahwa di badannya terdapat duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya . sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya …. Di waktu itulah orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf . . . ! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla kepada Allah . . . !
Sudah menjadi kebiasaan pada tabi’at manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan . . . artinya bahwa orang- orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipatgandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan . . . !
Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin ‘Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi’at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik . . . !
Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw. sebagai formateur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru ….
Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Ibnu ‘Auf …. Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujarnya:
“Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah …!”
Demikianlah, baru saja kelompok Enam formateur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al- Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja ….
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin ‘Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan:
“Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi .. . !” Oleh Ibnu ‘Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.
Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?
Dan pada tahun ketigapuluh dua Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya …. Ummul Mu’minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pekarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar ….
Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut . . . !
Pula dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh’un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu … !
Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata:
“Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari shahabat-
shahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah . . . !”
Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lalu satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa . … Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu . . . . seolah-olah ada suara yang lembut merdu yang datang mendekat ….
Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw. yang pernah beliau ucapkan:
“Abdurrahman bin ‘Auf dalam surga!”, lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita … !” (Q.S. 2 al-Baqarah: 262)