Tokoh Islami "ENAM PULUH SAHABAT UTAMA RASUL - USAID BIN HUDDLAIR - PART 1"
http://massandry.blogspot.com
Ia mewarisi akhlaq mulia dari nenek moyangnya turun- temurun …. Ayahnya Hudlairul Kata’ib adalah seorang pemimpin Aus dan termasuk salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah, dan salah seorang hulubalang mereka yang perkasa ….
Seorang penyair pernah berpantun mengenai ayahnya ini:
“Andainya maut mau menghindar dari orang perkasa niscaya ia akan membiarkan Hudlair ketika ini menutupkan pintunya Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya”.
Usaid mewarisi ketinggian martabat ayahnya; ia adalah salah seorang pemimpin Madinah dan bangsawan Arab dan pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya. Sewaktu Islam telah memilih dirinya dan ia ditunjuki ke jalan yang mulia lagi terpuji bertambah memuncaklah kemuliaannya, dan bertambah tinggi martabatnya, yakni di kala ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor penganut Agama Islam dan pembela Allah serta pembela Rasul-Nya . . .
Sewaktu Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umeir ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslimin Anshar yang telah mengangkat bai’at kepada Nabi untuk membela Islam di Baitul Aqabah yang pertama, dan untuk menyeru orang-orang lain kepada Agama Allah …. pada waktu itu Usaid bin Hudlair dan Sa’ad bin Muadz, — kedua-duanya adalah pemimpin kaumnya — duduk merundingkan tentang perantau asing yang datang dari Mekah mengenyampingkan agama mereka serta menyeru kepada Agama baru yang belum mereka kenal ….
Di majlis Mush’ab dan As’ad bin Zurarah ini, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian mendengarkan kalimat-kalimat petunjuk yang mengajak mereka kepada Allah yang diserukan Mush’ab bin Umeir …. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid yang melampiaskan segala kemarahan dengan berangnya …. Mush’ab lalu berkata: “Sudikah anda duduk mendengarkannya? Bila ada sesuatu yang menyenangkan anda, anda dapat menerimanya, dan jika anda tidak menyukainya, kami hentikan apa yang tidak anda sukai itu . . . !”
Usaid adalah seorang yang cemerlang otaknya, tenang hatinya, sehingga digelari oleh penduduk Madinah dengan al-Kamil, si “sempurna” . . . yakni gelar yang dimiliki ayahnya dulu . . . . Maka tatkala diperhatikannya Mush’ab mengandalkan hukum logika dan akal itu, ditancapkannya tombaknya ke tanah, lalu berkata kepada Mush’ab: — “Benar kata anda itu! Nah, cobalah anda kemukakan apa yang ada pada anda!”
Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat al-Quran dan menjelaskan seruan Agama baru ini . . . , Agama yang haq, dan Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya. Orang-orang yang menghadiri majlis ini sama mengatakan: “Demi Allah sebelum mengucapkannya telah terlihat pada wajah Usaid sikap keislamannya . . . .” Kita mengenalnya pada cahaya muka dan sikap lunaknya … !”
Belum lagi selesai Mush’ab dengan pembicaraannya, Usaid pun berseru dengan amat terkesan: “Alangkah baiknya kata- kata ini dan alangkah indahnya . . . ! Apa yang kalian lakukan bila kalian hendak masuk Agama ini . . . ?” Jawab Mush’ab: — “Anda bersihkan badan, pakaian, dan ucapkan syahadat yang haq, kemudian anda shalat. . . !”
Sesungguhnya kepribadian Usaid, benar-benar kepribadian yang lurus, kuat dan murni, begitu ia mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu lagi maju melangkah menyambutnya dengan kebulatan hati …. Usaid tegak berdiri untuk menerima Agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya, lalu ia mandi dan membersihkan diri, kemudian sujud kepada Allah Tuhan semesta alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah . . . !
Kewajiban Usaid sekarang ini ialah segera kembali kepada Sa’ad bin Mu’adz, untuk menyampaikan laporan dari tugas yang dibebankan kepadanya semula . . . yaitu untuk mengancam Mush’ab bin Umeir dan mengusirnya …. Dan iapun kembalilah kepada Sa’ad …. Belum lagi Usaid sampai ke dekat mereka, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang sekelilingnya: “Aku bersumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan air muka yang berlainan dari sewaktu ia pergi tadi … !” Benar … ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan rasa amarah dan permusuhan, dan kembali dengan wajah yang diliputi rahmat dan nur, sakinah kedamaian . . . !”